Home UUD.1945 KUHAP KUHPidana KUHPerdata UU.Perkawinan UU.Tipikor UU.Perlindungan.Anak UU.ITE UU.Narkotika About
UU Perlindungan Anak Online
KOMPILASI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
UU No. 35 Tahun 2014
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk Anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan Anaknya, atau ayah dan Anaknya, atau ibu dan Anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai Orang Tua terhadap Anak.
6. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
8. Anak yang Memiliki Keunggulan adalah Anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa tidak terbatas pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada bidang lain.
9. Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak Asuh adalah Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena Orang Tuanya atau salah satu Orang Tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang Anak secara wajar.
11. Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
13. Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
15a. Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
16. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan walikota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
UU No. 23 Tahun 2002
Penyelenggaraan Perlindungan Anak berasaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi Anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat Anak.
Pasal 3
UU No. 23 Tahun 2002
Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak Anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau Wali.
Pasal 7
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Setiap Anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang Anak, atau Anak dalam keadaan terlantar maka Anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai Anak asuh atau Anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap Anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
(1a) Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan Anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Setiap Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan.
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh Anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai kemampuan, bakat dan minatnya.
c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya, dan
d. memperoleh Hak Anak lainnya.
Pasal 15
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan;
e. pelibatan dalam peperangan; dan
f. kejahatan seksual.
Pasal 16
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Setiap Anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap Anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara Anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Setiap Anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan Anak yang yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap Anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap Anak berkewajiban untuk :
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
UU No. 35 Tahun 2014
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 21
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran dan kondisi fisik dan/atau mental.
(2) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghormati Hak Anak.
(3) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(4) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
(5) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak Anak.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/kota layak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
UU No. 35 Tahun 2014
Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Pasal 23
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali Atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.
(2) Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Pasal 24
UU No. 35 Tahun 2014
Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat Kecerdasan Anak.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat
Pasal 25
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap Perlindungan Anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(2) Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi dan pemerhati Anak.
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga
Pasal 26
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi Anak.
b. menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak;
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
KEDUDUDUKAN ANAK
Bagian Kesatu
Identitas Anak
Pasal 27
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan Orang Tuanyanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan kepolisian.
Pasal 28
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pembuatan akta kelahiran dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang administrasi kependudukan.
(2) Pencatatan kelahiran diselenggarakan paling rendah pada tingkat kelurahan/desa.
(3) Akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Campuran
Pasal 29
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sedangkan Anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarga negaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik Anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi Anak terbut.
BAB VI
KUASA ASUH
Pasal 30
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Pasal 31
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bbersangkutan.
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut Anak yang akan diasuhnya.
Pasal 32
UU No. 23 Tahun 2002
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :
a. tidak memutuskan hubungan darah antara Anak dan orang tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya membiayai hidup Anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan.
BAB VII
PERWALIAN
Pasal 33
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan.
(2) Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kesamaan dengan agama yang dianut Anak.
(4) Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab terhadap diri Anak dan wajib mengelola harta milik Anak yang bersangkutan untuk kepentingan terbaik bagi Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
UU No. 23 Tahun 2002
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili Anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak.
Pasal 35
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Dalam hal Anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan Anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan Anak.
(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan pengadilan.
Pasal 36
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata dikemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
BAB VIII
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK
Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
Pasal 37
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Pengasuhan Anak ditujukan kepada Anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang Anaknya secara wajar, biak fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
(2) Pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan Anak harus memperhatikan agama yang dianut Anak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pengasuhan Anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan Anak harus memperhatikan agama yang dianut Anak yang bersangkutan.
(5) Pengasuhan Anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar panti asuhan.
(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).
Pasal 38
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak , urutan kelahiran Anak dan kondisi fisik dan/atau mental Anak .
(2) Pengasuhan Anak sebagai dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui bimbingan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan secara berkesinambungan serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang Anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut Anak.
Pasal 38A
UU No. 35 Tahun 2014
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengasuhan Anak dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak
Pasal 39
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dengan Orang Tua kandungnya.
(2a) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak.
(3) Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak angkat.
(4) Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(4a) Dalam hal Anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat Anak tersebut harus menyertakan identitas Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4).
(5) Dalam hal asal usul Anak tidak diketahui, agama Anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada Anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan Anak yang bersangkutan.
Pasal 41
UU No. 35 Tahun 2014
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan Anak.
Pasal 41A
UU No. 35 Tahun 2014
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Agama
Pasal 42
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Setiap Anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum Anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk Anak mengikuti agama Orang Tuanya.
Pasal 43
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, Orang Tua, Wali dan lembaga sosial menjamin Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya.
(2) Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi Anak.
Bagian Kedua
Kesehatan
Pasal 44
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi Anak agar setiap Anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak sejak dalam kandungan.
(2) Dalam hal Orang Tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45A
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45B
UU No. 35 Tahun 2014
Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak.
Pasal 46
UU No. 35 Tahun 2014
Pemerintah, Pemerintah Daerah, keluarga dan Orang Tua wajib mengusahakan agar Anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
Pasal 47
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
(2) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan :
a. pengambilan organ tubuh Anak dan/atau jaringan tubuh Anak tanpa memperhatikan kesehatan Anak.
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh Anak; dan
c. penelitian kesehatan yang menggunakan Anak sebagai obyek penelitian tanpa seizin Orang Tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi Anak.
Bagian Ketiga
Pendidikan
Pasal 48
UU No. 35 Tahun 2014
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua Anak.
Pasal 49
UU No. 35 Tahun 2014
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga dan Orang Tua wajib memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Anak untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 50
UU No. 23 Tahun 2002
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan kepada :
a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian Anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. pengembangan perhormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana Anak bertempat tinggal, dari mana Anak berasal dan peradaban-peradaban yang berbeda dari peradaban sendiri.
d. persiapan Anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Pasal 51
UU No. 35 Tahun 2014
Anak Penyandang Disabilitas diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan inklusif dan/atau pendidikan khusus.
Pasal 52
UU No. 23 Tahun 2002
Anak yang memiliki keunggulan diberi kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 53
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi Anak dari keluarga kurang mampu, Anak terlantar, dan Anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggung jawaban Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.
Pasal 54
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, semua peserta didik, dan/ atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah dan/ atau masyarakat.
Bagian Keempat
Sosial
Pasal 55
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pemeliharaan, perawatan dan rehabilitasi sosial Anak terlantar, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.
(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan Anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengawasan dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 56
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu Anak, agar Anak dapat :
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berfikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan Anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain berekreasi, berkreasi dan berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh saran bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia Anak, tingkat kemampuan Anak dan lingkungan agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan Anak.
Pasal 57
UU No. 23 Tahun 2002
Dalam hal Anak terlantar karena sesuatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan Anak sebagai Anak terlantar.
Pasal 58
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan dan perawatan Anak terlantar yang bersangkutan.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
Pasal 59
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah atau lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada Anak.
(2) Perlindungan khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan;
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaraan;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
Pasal 59A
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik. psikis dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan
d. pemberian perlindungan dan pendapingan pada setiap proses peradilan.
Pasal 60
UU No. 35 Tahun 2014
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a terdiri atas :
a. Anak yang menjadi pengungsi;
b. Anak korban kerusuhan;
c. Anak korban bencana alam; dan
d. Anak dalam situasi konflik bersenjata.
Pasal 61
UU No. 23 Tahun 2002
Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.
Pasal 62
UU No. 23 Tahun 2002
Perlindungan khusus bagi Anak korban kerusuhan, korban bencana dan Anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dala Pasal 60 huruf b, huruf c dan huruf d, dilaksanakan melalui :
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan dan persamaan perlakuan; dan
b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi Anak yang menyandang cacat dan Anak yang mengalami gangguan psikososial.
Pasal 63
UU No. 35 Tahun 2014
Dihapus.
Pasal 64
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui :
a. perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. pemisahan dari orang dewasa;
c. pemberi bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
e. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;
f. penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;
g. penghindaran dari penangkapan, penahan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang obyektif, tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. penghindaran dari publikasi atas identitasnya;
j. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
k. pemberian advokasi sosial;
l. pemberian kehidupan pribadi;
m. pemberian aksesibilitas terutama bagi Anak penyandang disabilitas;
n. pemberian pendidikan;
o. pemberian pelayanan kesehatan; dan
p. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 65
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam ayat Pasal 59 (2) huruf c dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri dan menggunakan bahasanya sendiri.
Pasal 66
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam ayat Pasal 59 (2) huruf d dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Pasal 67
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (2) huruf e dan Anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi.
Pasal 67A
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang wajib melindungi Anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses Anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi.
Pasal 67B
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Perlindungan khusus bagi Anak dari pengaruh pornografi sebagaimana dimaksud dalam ayat Pasal 59 (2) huruf f dilaksanakan melalui upaya pembinaan, pendampingan serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.
(2) Pembinaan, pendampingan serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 67C
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak dengan HIV/AIDS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf g dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, pengobatan, perawatan dan rehabilitasi.
Pasal 68
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf h dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi.
Pasal 69
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya :
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi Anak korban tindak kekerasan; dan
b. pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi.
Pasal 69A
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya :
a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama dan nilai kesusilaan;
b. rehabilitasi sosial;
c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 69B
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban jaringan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (2) huruf k dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang pendidikan, ideologi dan nilai nasionalisme;
b. konseling tentang bahaya terorisme;
c. rehabilitasi sosial; dan
d. pendampingan sosial.
Pasal 70
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (2) huruf l dilakukan melalui upaya :
a. perlakuan Anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan Hak Anak;
b. pemenuhan kebutuhan khusus;
c. perlakuan yang sama dengan Anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu; dan
d. pendampingan sosial.
Pasal 71
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban perlakuan salah dan penelantaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (2) huruf m melalui upaya pengawasan, perawatan, konseling, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial.
Pasal 71A
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban perilaku sosial menyimpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (2) huruf n dilakukan melalui bimbingan nilai agama dan nilai sosial, konseling, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial.
Pasal 71B
UU No. 35 Tahun 2014
Perlindungan khusus bagi Anak korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (2) huruf o dilakukan melalui konseling, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial.
Pasal 71C
UU No. 35 Tahun 2014
Ketentuan mengenai perlindungan khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71B diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 71D
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, huruf f, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IXA
PENDANAAN
Pasal 71E
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dana penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(2) Pendanaan penyelenggaraan Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
c. Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(3) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB X
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak baik secara perseorangan maupun kelompok.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan orang perseorangan, lembaga Perlindungan Anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa dan dunia usaha.
(3) Peran masyarakat dalam penyelenggraraan Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara :
a. memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang Anak.
b. memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait Perlindungan Anak.
c. melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak.
d. berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Anak.
e. melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.
f. menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak.
g. berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59; dan
h. memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat.
(4) Peran organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk membantu penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(5) Peran media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik Anak.
(6) Peran dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui :
a. kebijakan perusahaan yang berperspektif Anak;
b. produk yang ditujukan untuk Anak harus aman bagi Anak;
c. berkontribusi dalam pemenuhan Hak Anak melalui tanggung jawab sosial perusahaan.
Pasal 73
UU No. 35 Tahun 2014
Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XA
KOORDINASI, PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN
Pasal 73A
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan Perlindungan Anak, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perlindungan Anak melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan perlindungan Anak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Pasal 74
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan Hak Anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.
(2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
Pasal 75
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua dan 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap Perlindungan Anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja dan pembiayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
UU No. 35 Tahun 2014
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;
b. memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak;
c. mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan Anak;
d. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak;
e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;
f. melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan
g. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap undang undang ini.
BAB XIA
LARANGAN
Pasal 76A
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang :
a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; dan
b. memperlakukan Anak penyandang disabilitas secara diskriminatif.
Pasal 76B
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaraan.
Pasal 76C
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak.
Pasal 76D
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76E
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 76F
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan penculikan, penjualan dan/atau perdagangan Anak.
Pasal 76G
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan nelaksanakan ajaran agamanya dan/atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya.
Pasal 76H
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.
Pasal 76I
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.
Pasal 76J
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dala Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta).
Pasal 77A
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap orang yang sengaja melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.
Pasal 77B
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 78
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Anak yang berhadapan dengan hukum, Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, Anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), Anak korban penculikan, Anak korban perdagangan, atau Anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal Anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap orang yang melakukan pengangkatan Anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Pasal 81
Perpu No. 1 Tahun 2016 → UU No. 17 Tahun 2016
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh Anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan Anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 81A
Perpu No. 1 Tahun 2016 → UU No. 17 Tahun 2016
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 82
Perpu No. 1 Tahun 2016 → UU No. 17 Tahun 2016
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh Anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan Anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 82A
Perpu No. 1 Tahun 2016 → UU No. 17 Tahun 2016
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 83
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 84
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh Anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 85
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh Anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh Anak tanpa memperhatikan kesehatan Anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan Anak sebagai obyek penelitian tanpa seizin Orang Tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi Anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 86
UU No. 23 Tahun 2002
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan atau membujuk Anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa Anak tersebut belum berakal dan belum bertanggungjawab sesuai dengan agama yang dianutnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 86A
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76G dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) dan/atau denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 87
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) dan/atau denda paling paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 88
UU No. 35 Tahun 2014
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 89
UU No. 35 Tahun 2014
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 90
UU No. 23 Tahun 2002
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88 dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
UU No. 23 Tahun 2002
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 91A
UU No. 35 Tahun 2014
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tetap menjalankan tugas berdasarkan ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
UU No. 23 Tahun 2002
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.
Pasal 93
UU No. 23 Tahun 2002
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
UMUM
UU No. 23 Tahun 2002
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak Anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada Anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan Anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan Anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan Anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi Anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak Anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi Anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Upaya perlindungan Anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan Anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada Anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi Anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat Anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan Anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan Anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
UMUM
UU No. 35 Tahun 2014
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan.
Anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif. Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap Hak Anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas Hak Anak.
Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara substantif telah mengatur beberapa hal antara lain persoalan Anak yang sedang berhadapan dengan hukum, Anak dari kelompok minoritas, Anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, Anak yang diperdagangkan, Anak korban kerusuhan, Anak yang menjadi pengungsi dan Anak dalam situasi konflik bersenjata, Perlindungan Anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi Anak, penghargaan terhadap pendapat Anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam pelaksanaannya Undang-Undang tersebut telah sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu Anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap Anak di Masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
UMUM
Perpu No.1 Tahun 2016
Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting dalam pembangunan nasional wajib mendapatkan perlindungan dari negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Anak berhak atas perlindungan dari kekerasan.
Pesatnya arus globalisasi dan dampak negatif dari perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, memunculkan fenomena baru kekerasan seksual terhadap Anak.
Kekerasan seksual terhadap Anak merupakan kejahatan serius (serious crimes) yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan mengancam dan membahayakan jiwa Anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang Anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap Anak namun penjatuhan pidana tersebut belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap Anak.
Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap Anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap Anak, Pemerintah perlu menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemerintah perlu segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UMUM
UU No.17 Tahun 2016
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dicantumkan bahwa Negara menjamin hak Anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seiring dengan pesatnya arus globalisasi dan dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kekerasan terhadap Anak khususnya yang berkaitan dengan kekerasan seksual semakin meningkat tajam.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang salah satu perubahannya menitikberatkan pada pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap Anak. Namun, perubahan Undang-Undang tersebut belum menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap Anak secara signifikan.
Oleh karena itu, Negara perlu mengambil langkah-langkah yang optimal dan komprehensif dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana, juga menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap Anak.
Untuk menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap Anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap Anak, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 25 Mei 2016.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tersebut telah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Asas perlindungan Anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi Anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut Anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi Anak harus menjadi pertimbangan utama.
Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat Anak adalah penghormatan atas hak-hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Hak ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada Anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia Anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan Orang Tua atau Walinya.
Pasal 7
Ayat (1)
Ketentuan mengenai hak Anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara Anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar Anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.
Ayat (2)
Pengasuhan atau pengangkatan Anak dilaksanakan sesuai dengan norma-norma hukum, adat istiadat yang berlaku, dan agama yang dianut Anak.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Huruf b
Perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras Anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
Huruf c
Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus Anak sebagaimana mestinya.
Huruf d
Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada Anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai Anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Huruf e
Perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara Anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap Anak.
Huruf f
Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada Anak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemisahan” antara lain pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan Anak dengan kedua Orang Tuanya, seperti Anak yang ditinggal Orang Tuanya ke luar negeri untuk bekerja, Anak yang Orang Tuanya ditahan atau dipenjara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Perlindungan dalam ketentuan ini meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan psikis.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan bantuan lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “dukungan sarana dan prasarana”, misalnya sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, fasilitas pelayanan kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang menyusui, tempat penitipan Anak, termasuk optimalisasi dari unit pelaksana teknis penyelenggaraan Perlindungan Anak yang ada di daerah.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 33 Ayat (2)
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 33 Ayat (2)
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kata seyogianya dalam ketentuan ini adalah sepatutnya; selayaknya; semestinya; dan sebaiknya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pengasuhan Anak dalam panti sosial merupakan upaya terakhir.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini berlaku untuk Anak yang belum berakal dan bertanggung jawab, dan penyesuaian agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara musyawarah, dan telah diadakan penelitian yang sungguh-sungguh.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kesiapan dalam ketentuan ini diartikan apabila secara psikologis dan psikososial diperkirakan Anak telah siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila Anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 41A
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Anak dapat menentukan agama pilihannya apabila Anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 45A
Cukup jelas.
Pasal 45B
Cukup jelas.
Pasal 46
Penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan menimbulkan kecacatan, misalnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), Tuberculosis (TBC), kusta, dan polio.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lingkungan satuan pendidikan” adalah tempat atau wilayah berlangsungnya proses pendidikan.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain petugas keamanan, petugas kebersihan, penjual makanan, petugas kantin, petugas jemputan sekolah, dan penjaga sekolah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga adalah melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta, sedangkan frasa di luar lembaga adalah sistem asuhan Keluarga/perseorangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 59A
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Yang dimaksud dengan frasa gangguan psikososial antara lain trauma psikis dan gangguan perkembangan Anak di usia dini.
Pasal 63
Dihapus
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.
Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 67A
Cukup jelas.
Pasal 67B
Cukup jelas.
Pasal 67C
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 69A
Cukup jelas.
Pasal 69B
Cukup jelas.
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemenuhan kebutuhan khusus” meliputi aksesibilitas bagi Anak Penyandang Disabilitas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 71A
Cukup jelas.
Pasal 71B
Cukup jelas.
Pasal 71C
Cukup jelas.
Pasal 71D
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk Anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah Anak korban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 71E
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan informasi” adalah penyebarluasan informasi yang bermanfaat bagi Anak dan perlindungan dari pemberitaan identitas Anak untuk menghindari labelisasi.
Yang dimaksud dengan “media massa” meliputi media cetak (surat kabar, tabloid, majalah), media elektronik (radio, televisi, film, video), media teknologi informasi dan komunikasi (laman/website, portal berita, blog, media sosial).
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebijakan perusahaan yang berperspektif Anak” antara lain:
a. tidak merekrut tenaga kerja Anak; dan
b. menyiapkan layanan ruang laktasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 73A
Ayat (1)
Lembaga terkait antara lain Komisi Perlindungan Anak Indonesia, lembaga swadaya Masyarakat yang peduli terhadap Anak, dan kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan frasa tokoh masyarakat dalam ayat ini termasuk tokoh adat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kelengkapan organisasi yang akan diatur dalam Peraturan Presiden termasuk pembentukan organisasi di daerah.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 76A
Cukup jelas.
Pasal 76B
Cukup jelas.
Pasal 76C
Cukup jelas.
Pasal 76D
Cukup jelas.
Pasal 76E
Cukup jelas.
Pasal 76F
Cukup jelas.
Pasal 76G
Cukup jelas.
Pasal 76H
Cukup jelas.
Pasal 76I
Cukup jelas.
Pasal 76J
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 77A
Cukup jelas.
Pasal 77B
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga” termasuk hubungan sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
Yang dimaksud dengan “aparat yang menangani perlindungan Anak” misalnya, polisi, jaksa, hakim, pembimbing kemasyarakatan, atau pekerja sosial.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyakit menular” adalah penyakit yang ditularkan melalui antara lain hubungan seksual, darah, duh tubuh, dan luka, misalnya, HIV/Aids, Neisseria gonorhoe, dan Sifilis.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam ketentuan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 81A
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 82A
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 86A
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 91A
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas